Senin, 13 Februari 2012

Orang bijak menggambarkan dalam jiwanya
Sebelum datang kecelakaan apa yang akan menimpa dirinya
Lalu semua datang tiba-tiba dan ia tak merasa cemas
Sebab dalam jiwanya sudah terpatri kuat gambaran tentangnya
Ia pandang persoalan itu hingga ke takaran terpuruknya
Dan yang terjadi di akhir, ia hadapi di awal
(Penyair tak dikenal)



Bagaimanakah perasaan seseorang yang kehilangan saudara, ayah, ibu, sahabat, dan orang-orang terkasihnya? Tentu sedih bukan? Seseorang pun akan sedih jika kehilangan atau di PHK dari pekerjaannya. Anak kecil pun akan sedih ketika orangtuanya tidak menuruti apa yang menjadi keinginannya. Kita akan sedih jika kehilangan segala sesuatu yang melekat pada diri kita.  Terlebih lagi sesuatu itu begitu bernilai bagi kita. Kita akan sedih kehilangan kekasih, sahabat, saudara, pekerjaan, kehormatan, harga diri, cinta, dan kekayaan.

Jika kesedihan sudah mencapai titik klimaks, artinya kesedihan itu terus-menerus menyelubungi akal dan pikiran, bahkan telah merusak jiwa dan raga, maka tentu saja kita harus segera mengambil tindakan untuk menghilangkan dan menghalaunya, atau paling tidak menguranginya sebanyak mungkin. Menurut Al-Razi, menghilangkan kesedihan yang menimpa kita itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu

Pertama, mewaspadainya sebelum muncul ke permukaan agar kesedihan itu tidak terjadi atau jika memang sudah terjadi, agar menjadi sekecil mungkin. Kita harus berusaha untuk tidak mendramatisasi keadaan. Kita harus berusaha untuk tidak hanyut terbawa oleh arus perasaan. Perasaan sedih tidak akan menjadi solusi untuk permasalahan yang akan kita hadapi. Kesedihan itulah justru masalah yang harus kita sadari, sehingga kita berusaha mengobati kesedihan itu dengan cara apapun agar kita menjadi bahagia.

Kedua, mengusir dan membuangnya jika kesedihan itu sudah muncul ke permukaan, agar kesedihan itu menjadi kecil dan lemah. Hal ini bisa dilakukan dengan merenungkan hal-hal berikut.
Inti dari kesedihan adalah karena kehilangan sesuatu yang paling kita cintai. Kita harus menerima kenyataan bahwa sesuatu yang paling dicintai itu mustahil abadi. Kita harus menyadari bahwa orang-orang yang kita kasihi mustahil akan hidup abadi dan mereka sama-sama memiliki keterbatasan seperti kita.

Kullu nafsin dzaaiqatul maut, setiap makhluk bernyawa akan mendapatkan giliran untuk mengalami kematian. Faktanya bahwa mereka pastilah mengalami peralihan generasi dan mengalami kebinasaan. Atau jika kasusnya orang yang kita kasihi meninggalkan kita dalam arti mengabaikan, seharusnya kita menyadari bahwa kasih sayang dan kebersamaannya dengan kita tidak akan abadi karena masing-masing memiliki keterbatasan. Cinta yang kita harapkan dari manusia tidak mungkin akan terus terpenuhi karena boleh jadi manusia secara alami akan mengalami kejenuhan. Kita tidak mungkin berharap simpati dari manusia karena manusia itu memiliki serba keterbatasan.

Menurut Al-Razi, orang yang paling banyak menderita kesedihan adalah orang yang punya banyak orang yang dicintai dan yang dicintainya paling bergelora. Orang yang sedikit mengalami kesedihan adalah orang yang memiliki keadaan sebaliknya. Karena itu orang yang cerdas harus memutuskan diri dari substansi kesedihannya, dengan membuat dirinya tidak bergantung pada segala sesuatu yang membuatnya sedih. Kita tidak boleh tertipu dan dikelabui perasaan. Kita harus memperhatikan serta membayangkan kepahitan yang harus dirasakan jika semuanya hilang.

Barangkali, ungkapan Rasulullah patut menjadi renungan agar kita terjerumus ke jurang penderitaan yang bernama kesedihan. Beliau mengatakan mencintai itu harus sewajarnya. Begitu pula membenci pun harus sewajarnya. Boleh jadi suatu saat sesuatu yang sangat dicintai akan menjadi sesuatu yang sangat dibenci. Pun boleh jadi Sesuatu yang paling dibenci akan menjadi sesuatu yang paling dicintai. Oleh karena itu, mencintai harus dengan proporsional, karena jika kita kehilangan akan merasa biasa-biasa saja.

Orang yang berhati-hati agar tidak mencintai karena takut kesedihan jika kehilangan orang yang dicintainya juga sebetulnya tengah bergegas menuju ke hari-hari yang penuh dengan kesedihan. Itu memang benar. Jika kehati-hatian dan praduganya memang menyebabkan kesedihan, namun kesedihannya itu sama sekali berbeda dengan kesedihan yang dikhawatirkan akan menimpa dirinya. Kesedihan yang dialami orang yang tidak memiliki anak berbeda dengan kesedihan yang dialami orang yang kehilangan anak. Demikan pula tidak sama kesedihan yang dialami orang yang tidak mempunyai kekasih dengan orang yang kehilangan kekasih.
Seseorang harus mempunyai beberapa orang yang dicintai, tidak mencukupkan satu orang saja agar bisa menggantikan yang lainnya kalau-kalau ia kehilangan salah seorang dari mereka. Dengan demikian kesedihan dan kedukaannya tidak berlebihan jika ditinggalkan oleh salah seorang dari mereka. Namun bukan berarti saya menyarankan atau membenarkan Anda untuk memiliki banyak kekasih, tapi cinta kita sekali lagi berikanlah secara proporsional kepada orang-orang yang berhak memdapatkan kasih sayang kita.

Jika kita mengkaji dan mencermati dunia yang dipengaruhi oleh peralihan generasi, kerusakan dan kebinasaannya. Dari sana kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bersifat abadi sebagai orang individu, melainkan semuanya memudar, binasa, berubah, membusuk, dan menghilang. Jika kita merenungkan ini semua, maka kita tidaklah terlalu memasukkan ke dalam hati atau merasa sangat menderita, atau dihantui rasa hilangnya sesuatu yang tiba-tiba.

Sebaliknya kita harus memandang ke masa kehadirannya sebagai suatu keuntungan dan kenikmatan yang diperoleh darinya sebagai manfaat positif, mengingat bahwa semua itu mau tidak mau pasti akan musnah.  Sepanjang kita terus menginginkan sesuatu itu tetap ada selamanya, maka kita menginginkan sesuatu yang tidak mungkin. Dengan menginginkan sesuatu yang tidak mungkin itu, kita telah mengundang kesedihan serta menuruti berbagai kecenderungan perasaan daripada logika. Hilangnya hal-hal yang tidak perlu untuk kelangsungan hidup tidak perlu mendatangkan kesedihan dan kedukaan yang mendalam. Semuanya itu akan segera tergantikan dan kembali membaik, dan hal ini akan membuat kita terhibur dan melupakan. Kegembiraan pun akan kembali datang, dan segala sesuatu kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya kemalangan.

Banyak orang yang telah hancur oleh petaka yang mengerikan, dan segera kemudian bangkit hingga keadaan mereka benar-benar seperti sebelum ada pukulan dan hantaman telak menimpa diri mereka dan menikmati hidup dengan penuh kepuasan dalam situasi dan kondisi mereka. Orang yang cerdas harus mengingatkan dirinya sendiri ketika kemalangan menimpa dirinya, betapa kemalangan itu akan segera lewat dan hilang serta ia akan kembali normal. Kita harus mencamkan hal ini dalam benak kita, dan mengobarkan keinginan dalam diri untuk mewujudkannya sepanjang waktu. Hal itu dilakukan dengan melibatkan dirinya pada hal-hal yang bisa menyibukkan dan mengalihkan pikirannya sejauh mungkin untuk mempercepat kembali ke keadaan yang tenang.

Dampak kesedihan itu bisa dikurangi dan diringankan dengan meningkatkan diri betapa masih banyak orang lain yang tertimpa kemalangan, dan betapa jarang seseorang terbebas darinya. Begitu pula dengan mengingat bagaimana keadaan orang lain yang sudah ditimpa musibah dan berbagai cara mereka tempuh untuk menghibur diri mereka sendiri, dan dengan memperlihatkan keadaaannya sendiri dan bagaimana sebelumnya ia menghibur dirinya sendiri ketika  kemalangan menimpanya.
Kehilangan orang-orang yang dicintai sesungguhnya menguntungkan, sekalipun perasaan mungkin berontak menentangnya. Meski obat penawar terasa pahit, pada akhirnya justru menyembuhkan dan melegakan. Orang yang lebih suka mengikuti logika daripada perasaanya, mereka itu benar-benar mampu menguasai dan mengendalikan dirinya pastilah memiliki pertahanan terhadap kesedihan. Orang yang cerdas takkan pernah memilih untuk terus berada dalam situasi yang merugikannya, dan karena itu ia segera bangkit merenungkan sebab kesedihan yang menimpanya. Jika hal ini bisa dihilangkan dan diakhiri, maka ia dapat menggantikan kesedihannya dengan memikirkan berbagai cara yang bisa ditempuh untuk menghalau dan mengakhiri sebab itu.

Namun, jika hal yang menimpa dirinya itu adalah hal yang tidak bisa ditangani dengan cara itu, maka ia akan segera mengalihkan pikirannya dari hal itu dan mencoba melupakannya, berusaha menghapuskannya dari pikiran dan mengusirnya dari jiwanya. Ini semua disebabkan oleh perasaan, bukan logika, yang menyerukan untuk terus bersedih dalam keadaan seperti itu, sebab logika hanya mendorong seseorang ke arah yang membuahkan manfaat, cepat atau lambat.

Bersedih atas apa yang tidak membuahkan manfaat, kehilangan sesaat, pastilah mengarah pada kehilangan lebih jauh dalam jangka panjang juga. Orang yang cerdas tak pernah berlama-lama dalam suatu keadaan kecuali bila dia merasa bebas berbuat demikian karena alasan yang pasti dan justifikasi yang jelas. Ia tidak akan mengikuti atau mematuhi perasaannya jika hal itu menggiringnya ke arah yang berlawanan.